Minggu, 30 Maret 2014

Membandingkan Cara Fans Inggris dan Italia Menyikapi Kekalahan

Dua klub ternama yang sering di juluki "The Devils" menjalani cerita yang sama tapi dengan jalan berbeda pada musim ini. Manchester United kini tengah terpuruk. Di papan klasemen Liga Inggris mereka kedodoran untuk bersaing di papan atas. Di Liga Champions pun mereka tersaruk-saruk. Mereka harus sangat susah payah menyingkirkan tim semenjana, Olympiakos, tim dari negeri yang masih terkoyak-koyak oleh krisis ekonomi.

Nada-nada minor nyaring terdengar kepada Moyes saat Manchester United akan menjamu seteru abadi mereka - Liverpool di Old Trafford. Pasalnya MU yang sekarang beda jauh dengan yang dulu.Tetapi pada laga itu, Moyes masuk ke lapang dengan rasa percaya diri. Tulisan "In Moyes We Trust" masih sempat terlihat diacung-acungkan suporter cilik penggemar MU. Yel-yel dukungan tetap menggema kompak seperti biasanya pada setiap tribun. Standing applause dilakukan semua penonton menyambut para pemain pesakitan mereka masuk lapangan.

Masuk dengan dada membusung, pulang dengan punggung membungkuk. MU kalah telak 0-3 oleh Liverpool. 1500 Kilometer dari Kota Manchester, tepatnya di Kota Milan pada waktu yang bersamaan "Il Diavolo" mengalami nasib sama. Tapi dengan jalan berbeda.

Kenaasan di musim ini mutlak milik Milan -tersingkir dari Liga Champions dan terasingkan dari klub-klub besar karena hanya mampu bertengger di papan tengah kompetisi Serie A. Musim ini berpotensi akan menjadi musim terburuk bagi AC Milan selama kurun waktu 28 tahun terakhir. Dalam rentan waktu itu mereka selalu mampu lolos ke kompetisi Eropa. Pada musim ini kemungkinan rekor itu terhenti.

Berbeda dengan MU, melawan Parma di San Siro, skuat Milan mendapat perlakuan berbeda. Stadion amat sepi karena beberapa kelompok memutuskan untuk boykot sebagai aksi protes tersingkirnya Milan dari Liga Champions dengan kalah memalukan 5-1 dari Atletico Madrid.

Tak berhenti disitu, sebelum memasuki stadion sekitar ratusan orang sudah memadati di luar stadion. Tujuan mereka jelas untuk melampiaskan sumpah serapah, cacian kotor tak terkira yang ditujukan kepada seluruh official dan pemain Milan. Puluhan barikade polisi bahkan dikerahkan untuk memberi jalan agar bus bisa masuk kedalam stadion.

Tak hanya para ultras, para penggemar dari semua kalangan usia dan gender dari anak kecil hingga kakek nenek pun ikut dalam aksi itu. Jelas unjuk rasa ini bukan yang pertama. Bulan November lalu, Ultras bahkan memblokade jalan agar bus tim tak bisa keluar dari stadion setelah Milan hanya mampu bermain imbang 1-1 melawan Genoa, di San Siro.

Dua keterpurukan dengan dua cara penyikapan yang sangat kontras.

Melihat Loyalitas Inggris pada Suporter Leeds

Sepakbola pada khakikatnya merepresentasikan kebudayaan, adat istiadat dan karakter dari sekelompok masyarakat. Maka tidak mengherankan jika sepakbola selalu menghadirkan cara pandang yang berbeda terhadap banyak hal yang terjadi di lapangan. Beda tempat, beda cara. Ini termasuk dalam perkara menyikapi kekalahan-kekalahan yang beruntun.

http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2014/03/30/093117/2540766/1497/membandingkan-cara-fans-inggris-dan-italia-menyikapi-kekalahan